OPINI PUBLIK - Para pemilih di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia, telah memilih mantan jenderal angkatan darat Prabowo Subianto sebagai presiden kedelapan, meskipun kampanyenya diwarnai dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan kecurangan.
Menurut jajak pendapat terbaru yang dapat diandalkan, Prabowo—yang juga Menteri Pertahanan—mendapatkan hampir 60% suara dalam pemilihan umum (pemilu) sehari terbesar dan paling kompleks di dunia. Hal ini kemungkinan besar berarti tidak akan ada putaran kedua.
Lebih dari 200 juta pemilih yang memenuhi syarat di lebih dari 17 ribu pulau memberikan suara mereka di lebih dari 820 ribu TPS. Proses pemungutan suara yang berlangsung selama satu hari ini melibatkan 5, 7 juta petugas pemilu, hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura.
Mengingat kompleksnya rekapitulasi hasil pemilu, Komisi Pemilihan Umum akan mengumumkan hasil resmi pada tanggal 20 Maret. Namun, sejak pemilihan presiden pertama kali pada thn 2004, Indonesia telah mengandalkan penghitungan cepat untuk mengetahui siapa presiden baru pada hari pemilihan.
Berdasarkan hasil hitung cepat, Prabowo mengalahkan kandidat-kandidat lain, yaitu mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan, yang didukung oleh kaum konservatif Muslim, dan mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang didukung oleh partai politik terbesar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kemenangan Prabowo telah melalui proses yang panjang. Ini adalah upaya keempatnya untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin negara.
Ia pertama kali maju sebagai calon wakil presiden untuk Megawati Sukarnoputri, ketua umum PDIP, dalam Pemilihan Presiden 2009. Pasangan ini kalah dari Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pemilu 2014 dan 2019, Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden melawan “Jokowi” Joko Widodo, Presiden Indonesia saat ini.
Prabowo kalah dalam pemilihan yang ketat dalam kedua kesempatan tersebut karena Jokowi didukung oleh partai Megawati.
"Setelah kekalahan dalam pemilu 2019, Prabowo menerima tawaran pekerjaan sebagai menteri pertahanan Jokowi".
Dalam pemilu tahun 2024 ini, Prabowo bekerja sama dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, setelah perselisihan antara Jokowi dan Megawati mengenai pilihan calon presiden.
Baca juga:
Tony Rosyid: Jangan Ada Revolusi Lagi
|
Ini adalah contoh bagaimana manuver-manuver para politikus di Indonesia yang tidak dapat diprediksi untuk tetap berkuasa dan mempertahankan martabat mereka.
Faktor Jokowi.
Sungguh menakjubkan melihat bagaimana Jokowi bangkit dari seorang politikus yang tidak dikenal pada thn 2005 ketika dia mencalonkan diri sebagai wali kota Solo—kota kecil di Jawa Tengah, menjadi seorang “kingmaker” dalam pemilu kali ini.
Tiket Prabowo-Gibran diatur sedemikian rupa dengan keterlibatan substansial dari Jokowi di seluruh prosesnya.
Gibran dinyatakan memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK), yang dipimpin oleh ipar Jokowi: Anwar Usman, mengubah persyaratan bahwa kandidat harus berusia minimal 40 tahun agar putranya yang berusia 36 tahun dapat mencalonkan diri.
Putusan MK menambahkahkan syarat lainnya yang bisa digunakan apabila kandidat tidak memenuhi syarat usia yakni “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Tidak mengherankan jika protes dari pihak oposisi amat riuh. Banyak yang menyatakan bahwa pemilu kali ini bukan lagi tentang melanjutkan warisan Jokowi, melainkan tentang menyelamatkan demokrasi.
Tiga hari sebelum pemilu, sebuah film dokumenter yang mengekspos dugaan kecurangan pemilu yang melibatkan Jokowi menjadi viral. Film tersebut menuduh bahwa Jokowi dengan susah payah mencurangi pemilu agar Prabowo dan putranya bisa menang.
Tiga akademisi terkemuka—Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar dan Feri Amsari—yang diwawancarai untuk film ini mengungkapkan apa yang mereka katakan sebagai aneka strategi Jokowi. Mulai dari gelontoran uang negara kepada para calon pemilih sebelum pemilu hingga penanaman dukungan di berbagai provinsi kunci.
Sutradara film tersebut, Dandhy Dwi Laksono, dan ketiga akademisi tersebut telah dilaporkan ke polisi.
Kemenangan Prabowo bagi demokrasi Indonesia. Namun, masa lalu Prabowo yang pasang-surut telah banyak dibahas. PIa adalah menantu dari pemimpin otoriter Indonesia, Suharto. Prabowo dituduh terlibat dalam penghilangan paksa terhadap 13 aktivis pada masa kepresidenan Suharto.
Pengamanan demokratis yang diperkenalkan setelah jatuhnya rezim otoriter Suharto pada akhir 1990-an—sekaligus mengawali era reformasi—diperkirakan akan mencegah Prabowo menjadi penguasa otokratis di Indonesia.
Pertama, Prabowo tidak sepopuler Jokowi. Tidak seperti Jokowi, yang memiliki tingkat kepuasan sangat tinggi sebesar 80% memberinya banyak kelonggaran untuk menguji batas kekuasaannya, Prabowo tidak begitu populer.
Sebelum Jokowi memberikan dukungan secara diam-diam, Prabowo secara konsisten berada di posisi kedua di belakang Ganjar dengan perolehan suara sekitar 20%. Saat itu, kecil kemungkinan Prabowo dapat mencapai posisi runner up jika pemilihan diadakan setahun yang lalu.
Partai politik Prabowo, Gerindra, berada di posisi ketiga, menurut penghitungan cepat, di belakang PDIP dan Golkar.
Faktor lain yang perlu diingat adalah popularitas Jokowi yang bertahan lama. Ada beberapa pihak yang berpikir bahwa ia mungkin tergoda oleh besarnya dukungan rakyat untuk terus mencampuri urusan politik melalui pencalonan putranya, Gibran, sebagai wakil presiden.
Ada juga yang merasa bahwa Jokowi menggunakan cara-cara non-demokratis untuk mempengaruhi pemilihan dan mengamankan tempat Gibran dalam pemilihan.
Beberapa minggu sebelum pemilihan, organisasi masyarakat sipil dan akademisi
serta para aktivis berbicara menentang Jokowi atas apa yang mereka lihat sebagai manuver untuk mempertahankan pengaruh politiknya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Komunikasi Yes, Koalisi No
|
PBarangkali, kemenangan Prabowo adalah ‘berkah’ tersembunyi bagi demokrasi Indonesia jika ini berarti masyarakat akan mulai serius memperjuangkan demokrasi—tidak lagi taken for granted atau menerima begitu saja.
(Anton Atong Sugandhi: translated from English)